Jumat, 06 Januari 2012

CERPEN CERITA BERSAMA AYAH

CERPEN
KARYA EPI YUNITA
CERITA BERSAMA AYAH
Namaku sinta, cerpenku ini berawal dari perjalanan hidupku bersama ayah yang begitu sayang kepada anak-anaknya rela berkorban demi membiayai pendidikan anaknya.
Pagi yang sendu di temani oleh rintik hujan yang membuat semua orang malas untuk beraktivitas. Mendung dipagi itu seakan mengabarkan berita duka bagi orang-orang yang diuji kesabarannya. Namaku sinta anak ketiga dari empat bersaudara, terlahir dari rahim seorang ibu yang bernama aminah, dan ayah yang bernama hasan. Namun hujan itu tidak membuatku bermalas-malasan untuk bangun pagi dan beraktivitas seperi biasanya. waktu itu pukul 06.30 menunjukkan bahwa aku harus bergegas berangkat kekampus karena tepat pukul tujuh aku ada mata kuliah filsafat pendidikan islam. Aku berangkat kekampus menggunakan payung berwarna pink yang melambangkan warna yang disukai perempuan, aku melangkah demi langkah akhirnya sampai di kampus. Memakan waktu sekitar dua puluh menit, tidak lama aku sampai, mata kuliahpun dimulai. Namun aku tidak terlalu fokus dengan kuliah karena dalam fikiranku penuh tanda tanya, karena beberapa hari ini keluarga dikampung tidak bisa di hubungi, aku jadi khawatir. Namun aku memebuang jauh fikiran jelek itu.
Waktu terus berlalu, jam istirahatpun telah tiba. Aku lihat ponselku terlihat ada satu pesan dari kakak kandungku, pesan itu berisikan “ sinta kabar disini baik-baik saja, ma’fin kakak tidak pernah membalas sms dan mengangkat telpon”. Namun aku tidak puas dengan sms itu, aku telpon kakakku. Dengan suara lirih dan tertahan kakak menjawab salam, aku semakin curiga sebenarnya apa yang terjadi, kakak lalu mengatakan bahwa ayah masuk rumah sakit karena terminum racun sewaktu di kebun. Aku terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa jantungku semakin cepat memompa peredaran darahku, sehingga membuat nafasku tak beraturan, tubuhku lemas bagaikan daging yang tak bertulang, dunia terasa gelap dan tulang-tulangku tersa remuk. Inikah jawaban dari kekhawatiranku beberapa hari ini terpikir dalam benakku,kabar itu sungguh membuat air mataku mengalir bak air sungai menuju kearah yang lebih rendah. Namun aku menyadari bahwa aku masih di kampus. Aku memutuskan untuk pulang kekos dan bersiap-siap untuk pulang kampung.
Jam menunjukkan pukul 17.00 travel yang aku pesan sudah datang, aku berangkat dari kota tempat kuliah menuju kampung halamanku. Pukul 01.00 malam aku sampai disalah satu rumah sakit yang ada di kabupaten. setelah melakukan perjalanan yang melelahkan. Aku disambut kakak dan abang ipar yang mengantarkan keruangan diamana ayah dirawat. Aku langsung memeluk ibu dan adikku yang masih berusia enam tahun dan duduk dikelas satu SD. Aku menangis tersendu-sendu. Kata ibu sudahlah nak ini ujian bagi kita , kita do’kan saja semoga racun itu tidak membahayakan diri ayahmu. Aku ingin sekali memeluk ayah namun ayah lagi tidur lelap, kata ibu dia baru bisa tidur stelah dikasih obat penenang dari dokter.
Malam itu aku sama sekali tidak bisa tidur. ibu, kakak, adik dan keluarga-keluargaku yang lain sudah terlelap tidur, aku hanya melihat wajah ayahku yang sudah ada garis-garis di pinggiran matanya, kulit yng sudah mulai menandakan bahwa ia sudah punya dua orang cucu dan rambut yang sudah mulai tumbuh uban. usia ayah wakti itu 52 tahun, ayah terlihat tua mungkin karena ia pekerja keras. Aku pijat-pijat kaki ayah perlahan sampai kepada telapak kakinya, aku sangat kaget dan terkejut karena telapak kaki ayah begitu keras, air mataku langsung mengalir dan tak bisa aku bendung lagi. Hatiku berkata “ayah maafkan aku yang belum bisa membahagiakanmu, ayah maafkan akau yang tidak bisa berada disisimu sehingga membuat aku tidak tau pengorbanankmu terhadapku selama ini, dan aku sampai tidak terfikir bahwa telapak kakimu mengeras karena bkerja untuk menyekolahkanku” air mataku terus mengalir dengan penuh rasa bersalah karena belum bisa membahagiakan ayahku. Tangisku di hentikan oleh sentuhan lembut tangan ayah yang membelai rambutku. Dengan suara serak ayahku berkata “ nak ayah tidak apa-apa, sambil tersenyum melihatku. Aku langsung memeluk ayahku. Tanpa bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa menangis. Aku tau bahwa sakit yang dirasakan ayah itu sangat menyiksa dia namun ia masih bisa tersenyum untukku. Waktu itu menunjukkan pukul 05.00 pagi tedengar juga suara adzan dari moshalla rumah sakit. Ayah menyuruhku untuk shalat kemushalla. Aku meninggalkan ayah pergi kemushalla untuk menunaikan ibadah shalat subuh.
Kembalinya aku dari mushalla, aku mendengar batuk ayahku, ku intip perlahan dari kaca ruangan dimana ayahku dirawat, ayah muntah mengeluarkan darah. Pada waktu itu aku sangat takut, aku masuk keruangan dan ayah bergegas membersihkan cairan darah yang ada dimulutnya. Aku berkata kepada ayah “ ayah aku tau, ayah jangan sembunyikan lagi padaku rasa sakit ayah”. Ayah hanya terdiam, ibu dan keluargakupun terbangun untuk shalat subuh.
Cahaya mentaripun menyinari suasana rumah sakit pagi itu. perasaanku sudah agak tenang karena pagi itu ayah sudah bisa makan, kata ibu ayah sebelumnya tidak bisa makan dan minum. Jika dia makan maka akan keluar dari hidung air dan makanannya itu. Tekanan darahnya juga sudah normal kata dokter, wajahnya juga sudah tidak sepucat sewaktu pertama aku datang. Waktu terus berlalu pukul 12.00 siang, hari itu hari kamis 10 pebruari 2011. Aku sama sekali tidak menyangka kondisi ayah menurun. Hal itu membuat aku khawatir, ayah selalu menyakanke padaku hari sudah malam atau belum. dia tidak berhenti mengucapkan syahadat dan muntah darah ayah semakin parah. Namun dia tetap tersenyum kepada aku dan orang disekelilingnya. Adzan berkumandang, ayah menyuruhkun shlat. Sebenarnya aku berat meninggalkan ayah, namun aku harus menunaikan shalat zuhur. Setelah aku shalat zuhur aku angkat tangan ku dan berdo’a “ ya Allah aku serahkan hanya padamu, jika engkau ingin mengmbil orang tuaku kembali menghadapmu hamba ikhlas dan jika engkau ingin menyembuhkan orang tuaku maka sembuhkanlah tetapi jangan siksa orang tuaku dengan rasa sakit yang sungguh hamba tidak kuat melihat penderitaannya”. Air mataku terus berlinang dan mengalir membahasi pipi dan mukena yang aku pakai. Waktu terus berjalan kondisi ayah semakin melemah. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain berserah diri kepada sang maha pencipta atas apa yang akan dikehendakinya. Aku hanya bisa melantunkan ayat suci al-qur’an disamping ayah, sambil menggenggam tanganku ayah berkata jadilah anak yang baik jaga ibu dan adikmu. Aku berusaha untuk menahan air mataku karena aku tidak mau mengiringi kepergian ayah dengan tangisan yang memperlihatkan bahwa aku tidak kuat menghadapinya. Karena aku tidak mau melihat ayah meras bersalah meninggalkan kami. Tepat pukul 18.00 ayahpun pergi meninggalkan dunia ini selamanya. Adzan magribpun berkumandang. Ruangan itupun dipenuhi dengan isak tangis kerabat keluarga. Aku pergi meninggalkan ruangan untuk menunaikan ibadah shalat magrib. Tepat pukul 19.00 kami berangkat meninggalkan rumah sakit menuju kampung halaman. Pukul 01.00 malam sampai dikampung, disambut isak tangis kerabat keluarga. aku juga heran terhadap diriku sendiri, aku sama sekali tidak menenteskan air mata karena aku percaya bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya. Pukul sembilan pagi jenazah dimakamkan. Malam diadakan acara tahlilan, aku duduk dikamar sambil melantunkan ayat suci alqur’an. Tanpa aku sadari ibu menghapiri, akupun menghentikan suara dan menutup al-qur’an. Ibu bertanya kepadaku “nak kamu pulang besok ? aku menjawab “ ia bu. Ibu berkata lagi “ belajar yang baik jangan kecewakan ayahmu. Ibu hanya berkata itu. Aku hanya menjawab ia dan menundukkak kepala.
Tepat pukul delapan pagi aku berangkat meninggalkan kampung halaman menuju kota tempat aku menimba ilmu. Aku salami ibu, kakak dan kerabat keluarga dan aku peluk adikku yang masih berusia enam tahun, sungguh aku tak sanggup membendung air mataku ketika memeluk adikku. Aku berkata kepada adikku “dek jangan nakal ea! Belajar yang rajin biar jadi anak pintar”. Adikku menjawab sambil mengusap air mataku “ kakak juga jangan nakal ea, belajar yang rajin biar jadi orang sukses”. Aku memeluk erat adikku sambil menangis. Aku beranngkat dengan diiringi lambaian tangan mereka dengan wajah sendu dan mata yang sembab.
Disepanjang jalan aku terbayang sewaktu aku masih kecil bercerita sambil bersenda gurau dengan ayah, terkadang sedikit tertawa karena lucu terhadp sesuatu hal yang di ceritakan ayah. Aku ingat sewaktu aku duduk dikelas satu SD setiap pagi ayah mengantar kesekolah dengan sepeda tua yang sudang berkarat. Sampai aku duduk dikelas empat SD ayah masih mengantarku kesekolah. Dan sehabis pulang sekolah kami berdua langsung menjaga pondok durian dengan membawa perbekalan seadanya. Ayah selalu bercerita tentang kehidupan dia, Ayah adalah sosok yang tegar usia 3 tahun dia sudah ditinggal ayahnya dan usia 6 tahun ia sudah ditinggal ibunya. Ayah tinggal bersama pamannya, ayah tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena ekonomi keluarga, pendidikan ayah hanya sampai SR saja. Aku bangga mempunyai ayah yang tabah dan pekerja keras bahkan aku sering sekali mengucapkan kepada ayah ketika ia habis bercerita, aku selalu bilang “aku ingin seperti ayah” hal itu sering ku ucapakan berulang-ulang sambil memeluk dan mencium pipi ayahku. Namun suatu hal yang membuat aku sangat sedih dan meneteskan air mata, melihat adikku yang masih kecil yang tidak merasakan belas kasih sayang seperti yang kami rasakan, diusia saat sekarang ini adikku sudah kehilangan sosok seorang ayah yang kami baggakan selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar